Affiliate Program ”Get Money from your Website” Lot of Visitors

Sabtu

KONTROVERSI RUU APP

Kontroversi disahkannya RUU APP (Anti porno Aksi dan Porno Grafi) tak kunjung menemukan titik terang. Padahal RUU tersebut rencananya akan disahkan pada bulan Oktober tahun 2008. Masyarakat yang “Pro” maupun yang “Kontra” sama-sama memiliki dasar yang kuat. Akan tetapi yang paling penting menurut saya, masalah ini harus diselesaikan dengan penuh kebijaksanaan sehingga tidak terjadi polemic yang berkepanjangan.

Beberapa hari yang lalu DPRD Provinsi Bali secara tegas menolak RUU APP. Anggota DPRD Bali, Imade Idrimbawa mengatakan bahwa RUU tersebut justru cenderung memicu perpecahan masyarakat Indonesia yang heterogen ini. Selain itu, RUU tersebebut juga menimbulkan benturan dan masalah budaya bahkan sebagian masyarakat Bali sempat mengancam akan mendirikan Negara sendiri apabila RUU tersebut disahkan. Perpecahan tersebut bisa terjadi karena upaya mengatur moral seluruh masyarakat yang Bhineka dinilai melanggar hak asasi manusia. Uji sahih yang dilakukan di empat daerah yakni Kalimantan Selatan, Maluku, Sulawesi Selatan dan Jakarta dinilai tidak cukup partisipatif. Yang paling dipertentangkan dalam RUU ini adalah substansinya yang masih rancu. Ayat-ayat yang ada masih banyak yang multi tafsir sehingga perlu direvisi. Pasal yang memuat kata “Menggairahkan” misalnya. pasal tersebut banyak diperdebatkan karena kriteria menggairahkan tidak jelas. Sudjiwo Tejo, Budayawan Indonesia mengatakan bahwa seksual adalah bagian sisi gelap manusia yang harus diakomodir. Menurutnya hal yang paling penting saat ini adalah pendidikan dan anjuran bukan hukuman. Ia juga menambahkan bahwa lebih baik membenahi hukum-hukum peradilan seperti korupsi daripada membuat undang-undang pornografi ini. Pemerintah terlalu terpusat pada masalah seksualitas ketimbang masalah-masalah lain. Misalnya, Sensor pertelevisian di Indonesia sekarang hanya terfokus pada hal-hal yang berbau seks, Padahal sensor duit juga perlu agar anak-anak tidak meniru perbuatan komsumtif mereka lihat di TV.

Sedangkan masyarakat yang “Pro” menilai bahwa RUU APP justru menghormati budaya dalam upaya menjaga budaya ketimuran kita di era globalisasi ini. Negara kita dinilai lebih “Liberal” dari pada Negara barat. Sebagai contoh, Situs-situs Porno dinegara-negara Eropa hanya dapat diakses oleh orang-orang dewasa, sementara di Indonesia anak-anak dapat dengan mudah diperoleh sehingga dalam hal ini anak-anak perlu dilindungi jiwa dan Masa depannya diantaranya dengan cara membuat undang-undang yang mengatur hal tersebut. Di Negara-negara maju seperti Amerika dan Jerman sudah ada undang-undang pornografi anak sedangkan Indonesia yang mempunyai falsafah hidup “kemanusiaan yang adil dan beradab” justru belum mempunyai undang-undang pornografi.Ibu Soffi dari Departemen Pemberdayaan Perempuan mengatakan bahwa Porno aksi dan porno grafi sudah sangat merendahkan derajat kemanusiaan dan perempuan. Berkenaan dengan Disintegrasi bangsa yang ditakutkan masyarakat yang kontra, anggota Pansus RUU APP, Mustofa kamal menjelaskan bahwa paling tidak ada empat pengeculian diantaranya berkenaan dengan adat istiadat, ritual dan agama sehingga disintegrasi yang ditakutkan tidak akan terjadi. RUU APP ini juga sudah di ubah namanya menjadi RUU Pornografi dengan maksud menegaskan bahwa kita tidak sepenuhnya anti akan tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Dari semua yang alasan tersebut yang ingin saya tekankan disini bahwa RUU ini diciptakan dengan etikat baik yaitu untuk kebentingan bangsa agar menjadi bangsa yang lebih baik. kita jangan menimbulkan isu-isu pelengkap yang justru makin memperumit masalah ini. Sebagai masyarakat demokrasi yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat, Kita harus menyelesaikannya dengan kepala dingin dan bijaksana. Tidak perlu memasalahkan yang tak perlu jadi masalah kan?. Dalam hal ini berdiri pada PRO tapi KONTRA. hehe.. dengan pertimbangan:
1. Saya setuju karena menurut pendapat saya pribadi, banyak masyarakat Indonesia yang mulai kehilangan jatidiri sebagai bagian dari masyarakat timur yang menjunjung tinggi norma-norma kesopanan dan kesusilaan. Masyarakat kita mulai mengadopsi pemikiran-pemikiran dan gaya hidup ke Barat-barat an. Sayangnya yang diadobsi bukan hal-hal yang positif seperti pola hidup disiplin, tepat waktu, ulet dan lainnya, akan tetapi lebih cenderung kepada hal-hal yang negative seperti pola hidup komsumtif dan perilaku yang sebenarnya kita yakini sebagai sesuatu yang menyimpang, seperti pemerkosaan, pencabulan, pembunuhan dan kawan-kawannya. Dengan pertimbangan diatas saya pikir memang perlu dibentuk suatu undang-undang yang jelas untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan aspek-aspek negative yang ada. Oleh karena itu, kita sebagai bagian dari bangsa ini sudah semestinya memikirkan masalah ini demi kelangsungan bangsa. Kalau tidak, maka bangsa ini akan makin tertinggal dengan bangsa yang lain. Dalam hal ini kita harus punya motto ”Ku persembahkan seluruh jiwa.. dan ragaku...! dan kupastikan tak kan ada yang mampu merebutnya dariku!”. Akan tetapi motto hanyalah motto,yang tidak akan ada artinya jikalau tidak ada kemauan untuk melaksanakannya. Bangsa ini sebenarnya pinter tapi tidak mau pinter, punya kesadaran tapi tidak mau sadar, punya keyakinan tapi tidak mau meyakini. Tahu tapi tidak mau tahu. kita sadar kalau membuang sampah sembarangan itu tidak baik bagi kesehatan tapi kita tidak mau sadar, Kita yakin kalau Berzina, Korupsi, Nonton film porno, Mabuk dan kroni-kroninya itu dosa, tapi kita tidak mau meyakini kalau itu dosa. Yang paling parah kita tahu kalau Bangsa ini ”Terlilit Hutang” tapi kita tidak mau tahu dan ironisnya kita yang banyak hutang ini bukannya introspeksi tetapi justru asyik ”BERDANGDUT RIA” dengan alasan ingin menghibur jiwa yang miskin ini agar tidak makin frustasi. Tapi yang justru kita lupakan adalah sila pertama pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dimana semu yang kita hadapi ini hanya akan selesai jika Tuhan menghendakinya selesai. Lalu apa syaratnya agar Tuhan Berkenan memperbaiki keadaan kita ini? jawabannya jelas! kita harus berusaha dan berdoa. Berusaha agar Tuhan berkenan diantaranya tentunya bekerja sebaik mungkin dan melaksanakan hal-hal yang diinginkan tuhan dan menjahui larangannya, salah satunya dengan cara introspeksi memperbaiki ”AMALAN, PERILAKU, PERBUATAN, DAN MORAL KITA”. Saudaraku sebangsa dan setanah air, mari kita bersama-sama memperbaiki diri, Kalau dengan adanya UU Pornografi ini baik bagi kita kelak! Mengapa meski ragu? Disahkan saja..! YA TO...?!!
2. Disisi lain saya kurang setuju apabila RUU ini disyahkan karena banyak hal yang perlu diperbaiki. Saya juga sependapat dengan mereka yang ”kontra” dengan alasan keragaman bangsa ini bukan untuk disamakan tapi untuk dipersatukan. Saya juga setuju dengan mereka yang menyatakan bahwa undang-undang ini memang masih perlu banyak perbaikan, khususnya hal-hal yang berkenaan dengan substansi yang saya rasa masih sangat abstrak, rancu dan kurang tepat sasaran. Hal yang juga sangat saya khawatirkan adalah berkenaan dengan implementasi UU ini dalam kehidupan bermasyarakat yang saya rasa yang sulit dilaksanakan. Jangan sampai UU yang sudah disusun kelak hanya menjadi koleksi tertulis tanpa ada wujud konkrit seperti beberapa UUD kita yang belum mampu terealisasi. Menurut saya, UU yang akan di syahkan ini harus benar-benar dapat mengena atau tepat tujuan dan sasaran yang diharapkan. Sebagai orang yang awam ilmu hukum, sempat terbesit dipikiran saya sebuah ide dimana hukuman fisik seperti hukuman penjara di ganti atau ditambah dengan hukuman cambuk. sebagai contoh, Koruptor tidak hanya dipenjara tapi juga dicambuk 100x misalnya. hehe..! atau para pelaku prostitusi juga diberlakukan hukum yang sam, tapi dalam hal ini saya rasa yang perlu di cambuk bukan pelacurnya tetapi konsumennya. ”Pedagang tidak akan berjualan kalau tidak ada pembelinya tow?” Bayangkan saja bila pelanggan prostitusi itu dicambuk 100x, maka tidak mungkin ia akan melaksanakan hal itu lagi, kalau tetep nekat cambuk aja lagi! wahaha.. tak terbayangkan!

Yang pasti kita masih punya kesempatan untuk mengkaji dan duduk bersma menentukan mana yang terbaik, kalau RUU ini nantinya disahkan jangan marah ya….! tapi kalau tidak jadi disahkan jangan kecewa juga…! “INDONESIA UNITY IN DIVERSITY”. Mari sambut Indonesia yang Masa kini, Berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama. “WE LOVE INDONESIA”. “Aku tahu jalan ini panjang… dan melelahkan! tapi pasti ini jalan KEMENANGAN…! pasti ini jalan KEMENANGAN...! pasti ini jalan KEMENANGAN....! di ujung jalan ini,ku yakin ada cahaya yang ”terang benderang”


WELCOME TO INDONESIA
The people of INDONESIA are
very friendly, kindly, simple
helpful and full of hospitality
PEACE….….

Jumat

TEKNIK PENULISAN PENELITIAN ILMIAH


SISTEMATIKA DAN FORMAT USULAN

usulan hendaknya ditulis dengan

mengikuti sistematika sebagai berikut:

a) Judul Program

b) Latar Belakang Masalah

c) Perumusan Masalah

d) Tujuan Program

e) Luaran Yang Diharapkan

f) Kegunaan Program

g) Tinjauan Pustaka

h) Metode Pelaksanaan Program

i) Jadwal Kegiatan Program

j) Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok

k) Nama dan Biodata Dosen Pendamping

l) Biaya

m) Daftar Pustaka

n) Lampiran

Tips Pemilihan Judul

  1. Tak ada aturan yang membatasi panjang / jumlah kata untuk judul, namun hindari pemilihan judul yang panjang.
  2. Pilih susunan kata yang tepat untuk menonjolkan fokus yang dipilih dalam penelitian
  3. Judul bisa mewakili isi proposal, artinya dari judul orang bisa memahami apa yang akan dilakukan dan dihasilkan dari penelitian yang diusulkan
  4. Judul bisa juga dibuat padat - menarik - kurang informatif namun menimbulkan penasaran reviewer
  5. Buat Reviewer jatuh hati dengan membaca “judul”

Tips Tinjauan Pustaka

  1. Tinjauan Pustakan merupakan komponen yang mendukung/menguatkan secara ilmiah penting dan sahihnya subyek penelitian yang saudara usulkan, sekaligus menggambarkan posisi penelitian yg siusulkan
  2. Minimalkan pustaka berupa Teori (buku), perbanyak pustaka hasil riset (journal, report, review)
  3. Jangan merujuk pada pustaka fiktif (tak dapat ditemukan di Daftar Pustaka)
  4. Ikuti cara sitasi yang benar (Harvard atau Vancouver dan variannya)
  5. Rujuk hanya pustaka yang terkait. Ulas berbagai sumber yang berkaitan dengan apa yang akan saudara lakukan (jangan hanya sekedar membuat TEBAL proposal)

Langkah-Langkah Penyusunan Karangan

PENYUSUNAN KARANGAN


1. Memilih dan Menentukan Topik

Ø Tema : masalah yang dipakai sebagai dasar penyusun­an karangan.

Topik : pokok pembicaraan dalam suatu karangan.

Judul : label/nama yang dilekatkan kepada suatu ka­rang­­an dengan tujuan untuk mencerminkan isi karang­an.

Ø Dasar pemilihan topik:

1. topik dipahami dan dikuasai dengan baik,

2. bahan topik yang dibahas tersedia,

3. pembahasan topik bermanfaat,

4. topik yang dibahas memiliki kemungkinan untuk di­kembang­kan menjadi karangan.

2. Merumuskan Masalah dan Menentukan Tujuan

Ø Tahap-tahap perumusan masalah:

1. tahap “terpancing masalah”,

2. tahap “memancing masalah”,

3. tahap eksplorasi,

4. tahap perumusan masalah.

à hasil: pertanyaan dan jawaban hipotetis.

3. Mengumpulkan Bahan

Ø Bahan penulisan karangan bisa diperoleh dari studi pus­taka dan pengamatan di lapangan (hasil: tinjauan buku dan data peng­amatan).

Ø Kecermatan dan ketelitian sangat diperlukan untuk mem­­­peroleh bahan yang memadai.

4. Menyusun Kerangka Karangan

Ø Kerangka karangan: kerangka kerja yang memuat garis-garis besar dari suatu karangan yang akan di­susun.

Ø Kerangka karangan disusun agar pembahasan topik men­­­jadi teratur dan sistematis.

5. Menyusun/Menulis Karangan

Ø Menyusun dan mengembangkan semua butir kerangka karangan (syarat: penulis harus menguasai bahasa yang digunakan untuk menyusun karangan).

6. Merevisi Karangan

Ø Membaca ulang karangan yang telah disusun.

Ø Tujuan:

1. memperbaiki kesalahan ketik,

2. memperbaiki kesalahan bahasa yang digunakan,

3. menata kembali isi karangan.


Contoh Kerangka Karangan

Topik : Anak Jalanan

Judul : Hubungan Anak Jalanan dan Kriminalitas

Kerangka Karangan:

1. Identifikasi Anak Jalanan,

2. Eksistensi Anak Jalanan dalam Masyarakat,

3. Tindak Kriminal dalam Masyarakat,

4. Anak Jalanan dan Potensinya untuk Melakukan Tindak Kriminal,

5. Penanganan Masalah Anak Jalanan.

Topik : Kekerasan

Judul : Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kerangka Karangan:

1. Peran Rumah Tangga sebagai Tempat Berlindung,

2. Faktor-faktor Pemicu Kekerasan dalam Rumah Tangga,

3. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga,

4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga,

5. Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Refleksi Atas Sila Persatuan Indonesia dalam Kaitanya Dengan Pemikiran Kefilsafatan, Pergerakan Nasional

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sila ketiga Pancasila ialah Persatuan Indonesia. Perkataan ini dipakai sebagai padanan bagi kata-kata ‘nasionalisme’ dengan alasan bahwa cita-cita akan persatuan sebenarnya telah tumbuh lama jauh sebelum munculnya kolonialisme. Masuknya faham nasionalisme atau kebangsaan yang dibawa oleh kolonial Belanda pada dasarnya hanya mengukuhkan persatuan yang telah tumbuh, walaupun coraknya sangat berbeda dengan persatuan yang terbentuk setelah diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karena dibentuk oleh faktor-faktor sejarah dan kenyataan budaya dan anthropologis yang berbeda dari nasionalisme yang berkembang di kalangan bangsa Eropa dan Amerika, maka ciri-ciri nasionalisme yang tumbuh di kalangan rakyat Indonesia juga berbeda.

Ruslan Abdulgani (1976), seorang perumus Pancasila pada zaman Sukarno, mengatakan bahwa “Lima asas (dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa”. Dari segi politik, menurutnya lagi, Pancasila merupaakan lambang rekonsiliasi dan sintesis tiga arus politik utama dalam kehidupan Indonesia modern, yaitu nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (baca: sosialisme, agar lebih netral). Arus sentralnya adalah nasionalisme.

Kita bisa memberi tafsir beranekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’. Alasannya, menurut belia, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian dibanding dialektika dan konflik. Dalam kenyataannya, disebabkan interes dan ideologi politik yang berbeda-beda itu pula sampai sekarang tidak pernah golongan-golongan politik di Indonesia melihat pentingnya keselarasan dan keserasian. Nasionalisme sendiri, sebab dipaksakan, sering menjadi sumber konflik dalam kehidupan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan.

Lalu apakah nasionalisme itu? Walaupun semangat persatuan bangsa Indonesia telah bertunas dalam sejarah bangsa Indonesia jauh sebelum datangnya peradaban Barat, akan tetapi pada umumnya konsep nasionalisme yang hidup dalam pikiran pemimpin dan kaum terpelajar Indonesia pada abad ke-20 mengacu pada konsep yang muncul di Eropa. Karena itu marilah kita lihat bagaimana perkembangan konsep ini di Eropa dan Amerika, sebelum membicarakan penerapannya di Indonesia.

Sebagai ideology modern di bidang social politik dan kenegaraan, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme.

Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsure-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel. Serbia telah berusaha membentuk negara-bangsa seperti ini, dan di bawah Slobodan Milosevic melakukan pembersihan etnis Bosnia pada tahun 1995, namun gagal dan ditentang oleh banyak negara dunia. Jepang berhasil karena tumbuh secara natural dari sebuah kerajaan feodal kuna yang kuat dan mampu memordernisikan diri sejak dini. Tetapi warga keturunan Korea dan Cina, dianggap sebagai warganegara kelas dua di Jepang. Contoh lain ialah Israel yang didirikan berdasarkan gagasan Zionisme Raya. Sejak kemunculannya, negara ini menjadi sumber kemelut dan kekacauan di Timur Tengah hingga sekarang.

Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2) Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’.

BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KEFILSAFATAN DAN KENEGARAAN SILA PERSATUAN INDONESIA

1. Negara Nasional sebagai tuntutan Zaman

Semua pejuang kemerdekaan mencita-citakan berdirinya negara nasional Indonesia. walaupun semenjak awal terdapat perbedaan pandanga tentang negara nasional Indonesia, dari kelompok yang disebut sebagai nasionalis sekuler dan nasionalis islam, hal itu hanya menunjukan perbedaan pandangan tentang dasar nasionalisme itu sendiri. bagi nasionalis islam bukan sekedar kebebasan politik atau mendapatkan kemerdekaan dengan melepaskan diri dari penjajahan sebagai cita-cita perjuangannya, akan tetapi sekaligus membangun islam seperti masa kejayaannya. sedangkan menurut nasionalisme sekuler tujuan utama perjuangannya adalah membangun Indonesia merdeka.

Perjuangan atau usaha membentuk negara yang mandiri perlu membangun kepercayaan diri. Usaha untuk membangun kepercayaan diri di berbagai masyarakat yang ingin membentuk negara nasional adalah dengan meyakini diri mereka bahwa mereka merupakan pewaris yang sah atas kejayaan masa lampau. Keyakinan ini selain untuk membangkitkan kepercayaan diri yang telah diruntuhkan oleh kolonialisme yang menguasai masyarakat itu, juga merupakan usaha untuk menarik partisipasi masyarakat dalam perjuangan dan merupakan usaha memperoleh legitimasi atas perjuangannya.

Pergerakan nasional membutuhkan legitimasi dan kebanggaan sebagai bangsa. Tidak hanya zaman pergerakan nasional, ketika kita Belum mampu mewujudkan kebudayaan nasional , kita masih memerlukan dukungan kebudayaan masa lalu sebagai identitas dan memperkuat nasionalisme kita. Bangsa Indonesia yang telah merdeka lebih dari limapuluh tahun masih memerlukan dukungan kebudayaan masa lalu untuk membina secara terus-menerus nasionalisme warga negaranya. Pergerakan nasional yang ingin membentuk negara nasional tanpa dukungan konsep kontinuitas masa lalu ibarat berjuang tanpa modal dan sulit mendapat dukungan masyarakat. Membentuk negara nasional indonesia diiringi harapan akan mendapat kejayaan seperti, bahkan melebihi kejayaan masa lampau.

Gagasan tentang kebangsaan atau nasionalisme sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan anti kolonial. Suatu kenyataan yang kita hadapi masa kini, dengan berakhirnya kolonialisme maka semua negara di dunia merupakan negara nasional. Muncul gagasan negara nasional bahwa telah berlaku syarat bahwasanya setiap bangsa harus membentuk satu negara, negaranya sendiri; berarti berakhirnya kolonialisme di dunia. Oleh karena itu negara nasional tidak saja sebagai muatan isi sila ketiga dari pancasila melainkan sebagai tuntutan zaman.

B. PERGERAKAN NASIONAL SEBAGAI LATAR BELAKANG HISTORIS PERUMUSAN SILA PERSATUAN INDONESIA

1. Perjuangan Menuju Terbentuknya Negara Nasional Indonesia

a. Asal Mula Sebutan “Indonesia”

Pada masa kolonial belanda, sebutan untuk orang Indonesia terjajah disebut dengan istilah “inlander” (orang pribumi) yang pada masa itu merupakan sebutan yang dirasakan sebagai penghinaan yang menjengkelkan. wilayah tanah air Indonesia disebut sebagai “Nederlandsc Indie” (Hindia Belanda). Pada awalnya para mahasiswa indonesia di negeri belanda pada tahun 1908 membentuk sebuah organsasi yang diberi nama “Indische vereniging” (perhimpunan Hindia). pada tanggal 14 April 1917 berlangsung pertemuan ramah tamah sebelas tokoh pergerakan nasional di Hotel Paulez Den Haag yang diprakarsai Indische Vereniging. Pada pertemuan itu Soejo Poetro seorang anggota Indische Veriniging memakai sebutan Indonesie (Indonesia ) sebagai pengganti kata Indie.

Pemakaian kata “Indonesia” sebagai konsep politik menunjukan suatu usaha menghilangkan atribut Belanda oleh para pejuang kemerdekaan untuk menyebut tanah airnya. Dapat dikatakan bahwa “Indonesia” sendiri merupakan kata yang menandai nasionalisme dan patriotisme para pejuang kemerdekaan

.

b. Persatuan Indonesia dan Nasionalisme

Nasionalisme sekuler dan nasinolisme Islam mempunyai persamaan pandangan tentang pentingnya persatuan dalam perjuangan. Nasonalisme Islam meyakini persatuan dapat terbentuk melalui solidarias umat Islam dan bagi nasionalisme sekuler meyakini bahwa kebangsaan itu sendiri mampu menciptakan persatuan.

Nagazumi(1986: 134) menyatakan bahwa menurut Ingleson “Perhimpunan Indonesia pada periode 1923-1930 mengalami perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. pada tahun 1925 perhimpunan Indonesia mengeluarkan Manifesto politik atau pernyataan prinsip yang menegaskan:

Hanya bangsa Indonesia yang bersatulah mampu mematahkan dominasi kolonial. Tujuan bersama itu menuntut terbentuknya massa-aksi nasionalisme yang sadar akan kekuatan sendiri.

1) Untuk mencapai tujuan tersebut dituntut secara mutlak partisipasi semua lapisan bangsa Inonesia.

2) Dalam setiap sistem kolonial pertentangan kepentingan merupakan unsur yang esensial dan dominan dan setiap usaha menembunykan unsur itu oleh penguasa kolonial perlu dihadapi oleh pihak yang dijajah dengan mempertajam dan mempertegas kontras itu.

3) Mengingat dampak penjajah yang mendemoralisasi dan merusak kehidupan fisik dan psikhis bangsa Indonesia, perlu diusahakan normalisasi hubungan rohaniah dan jasmaniah (alfian, 1998:23).

Dari manifesto-politik PI tersebut diatasdapat dikatakan bahwa persatuan Indonesia atau nasionalisme Indonesia merupakan bagian dari penyadaran akan kekuatan sendiri sebagai kekuatan utama untuk mematahkan kolonialisme di Indonesia. Popaganda anti kolonialisme dilakukan dengan berbagai macam cara dan sarana. Sarana yang dipakai oleh organisasi pergerakan nasional pada umumnya adalah dengan penerbitan buku atau majalah.

c. Pesatuan Indonesia dan Nasionalisme Indonesia

Ibrahim Alfian (1998: 24) menyatakan bahwa bentuk-bentuk organisasi sosial politik seperti kekerabatan marga dan kesukuan merupakan hasil perkembangan alamiah, sedangkan nasionalisme lebih merupakan hasil perkembangan historis. Nasionalisme merupakan transformasi pemahaman kolektivitas berdasar pengalaman kolektif dalam sejarah.pembentukan ideologi nasionaisme sebagai suatu faham yang mempengaruhi sejarah politik berkembang secara bertahap.

1). tahap pembentukan pengalaman kolektif yang dikentalkan oleh interaksi dan mobilitas byang meningkat.

2). tahap pembentukan kesadaran akan perlunya bentuk organisasi yang lebih ideal dan representative sebagai alat memenuhi kebutuhan dan alat mempertahankan eksistensi secara optimal dan berkelanjutan.

3) tahap pembentukan dan mobilitas kesadaran menjadi kemauan bersama (kolektif), serta lembaga-lembaga paranasional.

4) tahap perwujudan kesadaran (Nasionalisme) menjadi bentuk organisasi politik berupa nation-state yang memiliki wilayah, warga, pemerintah, dan segala alat /kelembagaan lain yang perlu untuk menjamin eksistensi negara bangsa yang biasanya di dahului oleh proklamasi dan pengakuan (Alfian, 1998: 24-25).

Kesadaran kolektif akan kebangsaan Indonesia terbentuk secara perlan tetapi pasti. melalui para relajar dan mahasiswa kesadaran nasional bangkit. Organisasi-organisasi sebagai institusi tandingan bagi institusi kolonial bermunculan. tahap pembentukan mobilits kesadaran menjadi kemauan bersama melalui penggabungan organisasi pemuda dan organisasi politik. pada bulan Desember 1927 terdapat kesepakatan untuk mendirikan federasi partai perhimpunan politik dengan nama PPKI (Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Organisasi pemuda bergabung dalam wadah bersama PPP( Perhimpunan Relajar-Pelajar Indonesia). Adanya konkres pemuda 1926 dan 1928 yang pada puncaknya mencetuskan sumpah pemuda menunjukan bahwa persatuan nasional sebagai kekuatan untuk melawan kolonialisme semakin teguh.bahwa sumpah pemuda itu mengeksplesitkan tekat untuk bertumpah darah, berbangsa; dan berbahasa persatuan Indonesia. Tekat tersebut dapat terealisir dengan sempurna jika terbentuk institusi negara kebangsaan yang merdeka dan berdaulat.

C. REFLEKSI ATAS MUATAN SILA PERSATUAN INDONESIA BERDASARKAN PEMBICARAAN DALAM SIDANG BPUPKI DAN PPKI

1. Perjuangan membentuk negara kekeluargaan atau gotong royong

Negara Indonesia harus disesuaikan dengan Sociale Structuur” masyarakat Indonesia yang nyata pada masa Semarang, serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman. menurut tata negara yang asli adalah konsep “manunggaling kawulo gusti”, atau bersatunya pemimpin dengan rakyat.Sifat dari negara kekeluargaan atau gotong royong tidak mengenal konflik antara kepentingan negara dengan kepentigan rakyat. Soekarno menggambar Indonesia sebagai negara kebangsaan yang merupakan persatuan dan gotong royong semua warga.

2. Negara Nasional yang mengatasi (transendensi) kesukuan

Negara nasional menurut gagasan Soekarno adalah negara gabungan suku-suku bangsa. Kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang bulat. Soekarno juga menggunakan teori geopolitik yaitu negara nasional adalah “ persatuan antara orang dan tempat” yaitu persatuan orang dengan tanah airnya. artinya, jira orang atau bangsa indonesia bertanah air indonesia maka pemerintah yang dibentuk juga merupakan pemerintah bangsa indonesia. Tidak ada hegemoni etnis. Setiap suku mempunyai hak yang sama sebagai pemimpin pemerintahan.

Para pendiri negara berhati-hati dalam menentukan wilayah Indonesia agar jangan sampai melanggar hak bangs lain. Dengan demikian penentuan negara nasional Indonesia yang merupakan transendensi atas kesukuan berdasarkan atas kesadaran rakyat yang mempersatukan diri dalam keluarga bangsa Indonesia.

3. Negara nasional yang memiliki kejelasan batas wilayah negara

Prinsip negara nasional sebagai tuntutan politik bahwa wilayah setiap negara harus disesuaikan dengan teritori yang dihuni oleh statu bangsa. Pandangan Yamin dalam persidangan BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945, bahwa Negara Indonesia merdeka tidak dapat meniru negara kerajaan masa lampau yang tidak mempunyai daerah terbatas. Menrut Yamin negara nasional Indonesia adalah negara yang harus memiliki batas-batas wilayah yang jelas. Teritori Indonesia harus terbagi habis dalam wilayah pemerintah daerah dengan penetapan wilayah yang tegas pula.

4. Unitarisme

Pada persidangan BPUPKI Yamin menyatakan bahwa Idonesia lebih sesuai dalam bentuk kesatuan atau menganut paham Unitarisme. Ia juga menegaskan bahwa negara Kesatuan itulah yang benar-benar mewujudkan persatuan yang menjadi dasar pergerakan nasional.Unitarisme lebih menjamin persatuan dan kesatuan.pluralitas sendiri tidak dapat dilawan dengan persatuan. Artinya, dipertahankannya pluralitas masyarakat Indonesia tidak menghalangi persatuan. hal itu dapat dibuktikan, ketika pluralitas penduduk lebih menonjol dan komunikasi Sangat terbatas justru persatuan telah berhasil melahirkan bangsa Indonesia. Kesediaan Penduduk yang pluralistikm menjadi satu bangsa adalah persatuan yang nyata. Negara nasional sebagai konsep politik tidak mensyaratkan secara mutlak adanya kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional sendiri tanpa kita paksakan akan terbentuk asal kan persatuan nasional semakin menunjukan kemantapan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isi arti sila persatuan pada waktu perumusan nya, baik pada sidang-sidang BPUPKI pertama, kedua dan sidang PPKI yaitu:

Kebangsan adalah atas kehendak untuk bersatu, Berperangai, dan bernasib yang sama; kesatuan tumpah darah atas karunia tuhan untuk bernegara kesatuan (bukan diktator, bukan negara berdasarkan kelas dan bukan negara individualis) tetapi negara semua untuk semua, satu untuk semua dan semua untuk satu, jadi bagi seluruh rakyat, dimufakati atas dasar kekeluargaan serta gotong royong, tolong-menolog dan keadilan sosial.

BAB III

MAKNA NASIONALISME

A. Nasionlisme Indonesia

Walaupun persatuan Indonesia telah bertunas lama dalam sejarah bangsa Indonesia, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti yang sebenarnya seperti kita pahami sekarang ini, secara resminya baru lahir pada permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau perlawanan terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam. Hubungan erat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini telah diuraikan oleh banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam bukunya Militant Islam (1979). Namun sebelum menguraikan hubungan ini akan kita lihat dulu unsure-unsur kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya.

Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsure penting:

(1) Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk wacana, pemikiran dan kehidupan sosial budayanya. Jadi bukan semata-mata dominasi dan hegemoni dalam kehidupan soial politik;

(2).Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat system tanam paksa (culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro.

(3)Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui system pendidikan.

B. Aspek Penting Dalam Nasionalisme Indonesia

(1) Politik: Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdulgani).

(2). Sosial ekonomi: nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan

eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan.

(3). Budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi dengan menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan realitas anthropologis bangsa Indonesia.

Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam konteks nasionalisme Indonsia (pidato Ruslan Abdulgani dalam Sidang Konstituante 1957). Pandangan ini merujuk pada pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah: Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika’. Budaya dan agama yang dianut bangsa Indonesia merupakan sumber rujukan bagi terciptanya kepribadian bangsa Indonesia.

Dalam pidatonya itu Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia tampil dalam sejarahnya didorong oleh tiga faktor, yaitu “economische uitbuilding” (eksploitasi ekonomi yang dilakukan kolonialisme Belanda), “political frustratioen” (kekecewaan politik disebabkan dominasi kekuasaan asing, yaitu kolonial Belanda) dan “ hilangnya kebudayaan yang berkepribadian” disebabkan oleh sistem pendidikan dan tiadanya hak-hak budaya bagi masyarakat Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaannya. Yang pertama, menghendaki sistem ekonomi terpimpin sebagai tandingan ekonomi kapitalis yang menimbulkan “lexploitation de l’homme par l‘homme” (penindasan manusia atas manusia). Sedangkan kekecewaan politik menghendaki sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat (demokrasi) dan bebas dari dominasi asing.

Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh perjalanannya itu maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideology Barat yang mempengaruhi perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, Marxisme dan marhaenisme. Komponen Islam penting, karena semangat kebangsaan mencapai bentuknya yang tersendiri di bumi Indonesia setelah diantar oleh gerakan perlawanan anti-kolonial pada abad ke-18 dan 19 yang digerakkan oleh pemimpin Islam. Gerakan-gerakan ini dijiwai oleh ajaran dan semangat Islam tentang pembebasan manusia dari perbudakan dan eksploitasi. Selain itu juga terdapat komponen penting lain berupa realitas anthropologis masyarakat Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama, serta ideogi-ideologoi modern yang berpengaruh munculnya gerakan kebangsan pada abad ke-10. Misalnya Marxisme dan sosialisme, melengkapi komponen humanisme dan sejenisnya.

Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan sejarah sebagao kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).

Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya, serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 1928. Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti berikut:

1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman dan keseragaman.

2. Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.

3. Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter.

4. Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan dan dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.

5. Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia.

BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan dengan menggunakan pemikiran Notonagoro bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika).Yang memiliki Unsur-unsur untuk membentuk nasionalisme Indonesia :

1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang.

3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam.

4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.

5. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.

Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut faham integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya. Faham integralistik mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua golongan, tidak memihak pada mayoritas. Tetapi dalam kenyataan justru inilah yang menimbulkan masalah, karena kemudian yang terjadi adalah Tirani Minoritas dalam berbagai hal, termasuk dalam wacana kehidupan berbangsa, pemikiran dan ideology. Notonagoro di lain mengusulkan agar NKRI menjadi negara yang berasaskan kekeluargaan dalam persatuan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

- Lerner,1919. The Economics of Control

- “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta

- G. H. Jansen,1979.Militant Islam

- Friedrich Razel, 1987. Political Geography

- .Sudaryanto, 2008, Filsafat Politik Pancasila

tempat iklan

coba